Senin, 07 Mei 2012

SUKU TENGGER


SUKU TENGGER

Suku Tengger merupakan sebuah suku yang tinggal didaerah pedalaman pegunungan bromo yang menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Malang.berada pada ketinggian 2.392 dari permukaan laut.  Sekeliling gunung ini terhampar lautan pasir seluas kurang lebih 10 km2, bahkan mirip dengan padang pasir.

Keberadaan Suku Tengger berdasarkan legenda yang memasyarakat, suku tengger berasal dari keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, nama “Tengger” sendiri diambil dari akhiran “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Suku tengger merupakan penduduk asli jawa yang pada saat itu hidup pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit. Saat masuknya Islam ke pulau jawa terjadi persinggungan dengan kerajaan-kerajaan yang ada di pulau jawa, yang salah satunya kerajaan majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman Gunung Bromo dan Semeru. Pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang melarikan diri ke pedalaman Bromo, kemudian menjadi penguasa daerah tersebut dan diberi nama “Tengger”.
Jarak yang begitu jauh untuk memasuki kawasan Suku Tengger ini karena berada di dalam penggunungan Bromo, begitu terjalnya jalan untuk memasuki kawasan ini.


Hanya dengan menggunakan jeep ini, kita bisa memasuki kawasan pedalaman dimana Suku Tengger tinggal, dengan perjalanan yang mirip padang pasir membuat kita semakin penasaran untuk memasuki kawasan ini.

Untuk mencapai kaki gunung Bromo tidak bisa menggunakan kendaran baik roda 2 maupun roda 4 hanya berjalan kaki, tetpi andaikan tidak ingin kelelahan dapat menyewa kuda dengan tarif Rp. 70.000,-. Untuk melihat kawah gunung Bromo yang mengeluarkan asap kita harus menaiki tangga yang lumayan tinggi yakni 250 anak tangga. wah banyak juga yah.
Warga Tengger pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani sayuran. Kesuburan lahan di lereng-lereng perbukitan dengan kemiringan yang terjal ini tidak terlepas dari kondisi pegunungan Tengger yang berada di antara dua gunung yang masih aktif, Gunung Bromo dan Gunung Semeru. Pertanian yang mereka hasilkan dijual keluar desanya dengan bantuan pengepul yang yang datang dari Probolinggo, Pasuruan bahkan dari Surabaya datang untuk membeli hasil pertanian dari peggunungan tengger. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.


Masyarakat tengger mayoritas memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut bukan Hindu Dharma seperti yang ada di Bali, Hindu yang berkembang di masyarakat tengger adalah Hindu Mahayana. Hindu Mahayana adalah........
Mahayana (berasal dari bahasa Sanskerta: महायान, mahāyāna yang secara harafiah berarti 'Kendaraan Besar') adalah satu dari dua aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha Mahayana, yang dilahirkan di India. 

Berikut adalah gambar dari upacara adat yang  ada di Suku Tengger:


1. Upacara Kasada
 
Upacara Kasada atau Hari Raya Kasada atau Kasodoan adalah Upacara yang dilakukan oleh Masyarakat Tengger untuk memperingati Pengorbanan diri Raden Kusuma putra bungsu Joko Seger dan Loro Anteng yang telah merelakan dirinya untk berkorban demi Kesejahteraan Ayah , Ibunya serta saudara – saudaranya. Hari Raya Kasada ini di selenggarakan pada tanggal 16 bulan Asuji atau Kasada ( bulan ke duabelas ) tahun Saka. yaitu pada saat bulan purnama penuh. Upacara ini diikuti oleh seluruh Masyarakat Suku Tengger dengan membawa Ongkek ( biasanya dipikul berisi Tandur Tuwuh bumi Tengger / ternak peliharaan / ayam) untuk dilabuhkan ( kurban )di kawah Gunung Bromo, tetapi sebelumnya harus di mintakan Japa Mantra ( do’a ) kepada Dukun Adat yang berada di Poten lautan Pasir Gunung Bromo baru setelah itu dilabuhkan. Selain Melakukan ritual Labuahan pada saat Upacara Kasodo juga diadakan ujian Mulenen bagi Dukun Baru ( ujian membaca mantra dalam hal ini tidak boleh lupa dan keliru karena hal tersebut merupakan syarat utama lulus dan tidaknya Sang Dukun ).
 
2. Upacara Karo
 
Upacara Karo dilaksanakan setiap Sasi Karo pada tanggal 15. Upacara Karo dilaksanakan di Rumah Pak Tinggi (Pak Lurah Desa Ngadas). Semua sesaji Karo Upacara dilaksanakan di Rumah Pak Tinggi di bantu warga. Saat Upacara Karo diharuskan menyembelih satu ekor sapi untuk persembabahan. Tujuan Upacara Karo adalah untuk menghormati para leluhur, putren atau punden-punden dan Hyang Ibu Bumu dan Bapa Kasa. Sebelum Karo dilaksanakan ada sebuah upacara yang harus dilaksanakan yaitu Upacara Ping Pitu. Upacara ini dilaksanakan pada Sasi Karo tanggal 7.

3. Upacara Pujian

Upacara pujan dilaksanakan 4 kali dalam satu tahun. Yaitu pada Sasi Kapat. Upacara Pujan pertama dilaksanakan pada Sasi Kapat tanggal 4, Pujan kedua dilaksanakan pada Sasi Kawolu tanggal 1, Pujan ketiga dilaksanakan pada Sasi Kasanga Panglung 9, dan Pujan keempat dilaksanakan pada Sasi Kasada Panglung 1.  Panglung adalah istilah Tengger untuk menyebut tanggal setelah tanggal 15 sampai satu bulan berakhir.  Upacara Pujan bertujuan untuk memuji kepada leluhur Desa Ngadas. Pujan dilaksanakan di rumah Mbah Dukun dan dibantu semua Warga Ngadas.
 
 Selain itu tak jauh dari permukiman suku tengger ada padang savana yang indah dan wajib sekali untuk dilihat, padang savana disini tak jauh berbeda dengan padang savana diluar negri, rerumputan yang masih hijau, dan iklim yang dingin membuat kita akan nyaman berada disini. 


Keindahan alam Indonesia tidak akan pernah habis, asalkan kita mau menjaga dan terus merawatnya, termasuk budaya yang kita punya, semua akan terus menarik dan menjadi kebanggaan untuk kita semua. :)

Jumat, 04 Mei 2012

Tana Toraja

TANA TORAJA
Tana Toraja terletak di kabupaten Sulawesi Selatan, keindahannya terletak pada kebudayaan mereka yang masih sangat kental terhadap peninggalan leluhur mereka, satu dari sebagian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Koes Hadinoto pada tahun 1989, susunan obyek wisata Tana Toraja terdiri atas: panorama alam, kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat, peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, upacara ritual rambu tuka’ dan rambu solo, seni tari dan kesenian, seni lukis, industri rumah dan kerajinan tangan.
Panorama alam nan indah sebagai ciri khas Tana Seribu Tongkonan ini, terdiri atas bukit-bukit batu menjulang tinggi, lembah-lembah yang hijau serta hamparan sawah yang berpetak-petak, sungguh merupakan anugerah sang pencipta yang patut disyukuri. Bahkan perpaduan harmonis antara alam yang indah dengan udara sejuk dan bersih ditandai oleh munculnya kabut di pagi hari tersebut merupakan unsur pendukung sejumlah daya pikat yang dimilikinya.
Di saat melintasi Kota Enrekang, kabupaten terakhir menjelang perbatasan Tana Toraja.Akan disuguhkan panorama yang sangat cantik berupa rangkaian punggungan gunung. Bila beruntung, anda akan menyaksikan sebuah bongkahan batu raksasa yang menjulang ke angkasa, yang oleh warga setempat disebut dengan Buttu Bampapuang.tak henti-hentinya wisata asing yang datang kesini untuk melihat keindahan pegunungan di perbatasan Tana Toraja, belum lagi betapa sejuknya kawasan ini.


KEUNIKAN TANA TORAJA
UPACARA PEMAKAMAN TANA TORAJA

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

 
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.


Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Berikut adalah kuburan yang dibuat ubtuk menguburkan para bayi, bayi-bayi tersebut dimasukkan kedalam lubang yang ada di pohon ini lalu ditutup menggunakan ijuk serabut.



TONGKONAN

 
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

MUSIK DAN TARIAN


Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.

Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling banbu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.

BAHASA

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa melayu-polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.


UKIRAN KAYU

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
 pa'tedong  (kerbau)

pa'barre allo (matahari)

me'limbongan (perancang legendaris)

pa're'po' sanguba (menari)

 SOUVENIR TANA TORAJA


Anda juga akan disuguhkan toko souvenir khas Tana Toraja, bila anda berkunjung kesini, jangan lupa bawa oleh-oleh khas suku ini ya :)

Selamat memperoleh pengetahuan, semoga bermanfaat.
Jaga dan terus tetap lestarikan budaya kita. :)